Perawat Salah, DPR Panggil MENKES, Seolah Ada Tsunami II
Dalam hidup ini, tidak ada yang sempurna. Benar ya benar. Kalau salah, memang harus salah.
Tetapi jangan lupa, untuk menentukan benar atau salah, ada prosedurnya. Kita tidak serta merta punya hak menghakimi kesalahan seseorang sebelum dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Azaz pengadilan adalah ‘Praduga Tak Bersalah’.
Yang kedua, seperti dalam praktik K3 di perusahaan, professional mengenal Incident/Accident investigation. Ada komite khusus sebagai Tim investigasi jika terjadi kesalahan, incident atau accident. Perusahaan level internasional menerapkan prinsip ini. Termasuk yang kita harapkan pada RS NH yang berkelas internasional di Surabaya.
Benar, bahwa dalam video tersebut, sang Perawat mengaku salah. Namun itu belum cukup sebagai bukti, lantas kita main pecat, atau misalnya cabut STR nya. Benar, bahwa perawat tersebut mungkin melecehkan, akan tetapi bukan berarti main upload video sembarangan di medsos. Aturan dan UU IT jika diberlakukan, sang pelaku selayaknya dijerat.
RS NH juga perlu refleksi. Di antaranya adalah mengapa incident ini bisa terjadi. Dan bagaimana ke depan agar tidak terulang. Itulah PR terbesar RS.
Yang terjadi saat ini, sungguh terlihat seperti tidak menggambarkan karakter professional kita. Semua mata tersorot pada Perawat tersebut. Seolah 100% kesalahan dia, tanpa diberikan kesempatan membela. Andai saja dia berani bicara, pasti dia akan minta saksi. Dengan berbagai dalih, betapapun dia salah, sebenarnya sang perawat bisa saja mengelak.
Kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, sampai Pengadilan menyelidiki dan memutuskan.
Yang kita tidak habis mengerti adalah, begitu yang salah Perawat, seperti halnya kasus Misran dari Kalimantan dulu, Menteri Kesehatan dipanggil DPR. Seolah-olah ada gelombang Tsunami kedua. Seolah-olah DPR kekurangan kerjaan yang lebih besar.
Mengapa DPR tidak memberlakukan tindakan yang sama ketika profesi lainnya melecehkan pasien? Mengapa DPR diam saat perawat dilecehkan oleh profesi kesehatan lain? Bukankah ini ketimpangan keadilan?
Diakui atau tidak, perawat adalah professional kesehatan terbesar di negeri ini yang sumbangsihnya harus dihargai. Jangan hanya karena satu orang perawat salah, lantas negeri ini gempar. Ada banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan oleh Pemerintah dalam menanggulangi masalah perawat. Di antaranya adalah ketimpangan kesejahteraan mereka, gaji minim, bahkan ada yang tidak dibayar tetapi perawat masih bersedia bekerja. Pelatihan yang tidak merata, STR yang belum tertata, pengangguran di mana-mana, peluang kerja di luar negeri yang belum dimaksimalkan. RS, klinik dan Puskesmas yang kadang terkesan nggaji perawat honor sekenanya, dan lain-lain.
Tanpa mengesampingkan peran etika profesi yang harus dijunjung tinggi, harusnya Pemerintah bijak dalam memperlakukan perawat. Kami tetap menjunjung tinggi supermasi hukum di negeri ini. Namun dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Viral video tersebut sudah cukup mencoreng nama baik bukan hanya individu, bahkan bangsa Indonesia.
Sekali lagi, lakukan investigasi dan terapkan prinsip praduga tak bersalah kepada anggota keluarga kami. Kalau bukan kepada Ibu Menteri Kesehatan, kepada siapa kami mengadu? Bagaimanapun, kami ini anak-anaknya Ibu Menkes. Andai saja Ibu seorang Perawat, pasti bisa merasakan sebagaimana yang kami rasakan, terhadap kolega kami yang berbuat salah.
Malang, 27 January 2018
SYAIFOEL HARDY (SUARA PERAWAT)
Tetapi jangan lupa, untuk menentukan benar atau salah, ada prosedurnya. Kita tidak serta merta punya hak menghakimi kesalahan seseorang sebelum dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Azaz pengadilan adalah ‘Praduga Tak Bersalah’.
Yang kedua, seperti dalam praktik K3 di perusahaan, professional mengenal Incident/Accident investigation. Ada komite khusus sebagai Tim investigasi jika terjadi kesalahan, incident atau accident. Perusahaan level internasional menerapkan prinsip ini. Termasuk yang kita harapkan pada RS NH yang berkelas internasional di Surabaya.
Benar, bahwa dalam video tersebut, sang Perawat mengaku salah. Namun itu belum cukup sebagai bukti, lantas kita main pecat, atau misalnya cabut STR nya. Benar, bahwa perawat tersebut mungkin melecehkan, akan tetapi bukan berarti main upload video sembarangan di medsos. Aturan dan UU IT jika diberlakukan, sang pelaku selayaknya dijerat.
RS NH juga perlu refleksi. Di antaranya adalah mengapa incident ini bisa terjadi. Dan bagaimana ke depan agar tidak terulang. Itulah PR terbesar RS.
Yang terjadi saat ini, sungguh terlihat seperti tidak menggambarkan karakter professional kita. Semua mata tersorot pada Perawat tersebut. Seolah 100% kesalahan dia, tanpa diberikan kesempatan membela. Andai saja dia berani bicara, pasti dia akan minta saksi. Dengan berbagai dalih, betapapun dia salah, sebenarnya sang perawat bisa saja mengelak.
Kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, sampai Pengadilan menyelidiki dan memutuskan.
Yang kita tidak habis mengerti adalah, begitu yang salah Perawat, seperti halnya kasus Misran dari Kalimantan dulu, Menteri Kesehatan dipanggil DPR. Seolah-olah ada gelombang Tsunami kedua. Seolah-olah DPR kekurangan kerjaan yang lebih besar.
Mengapa DPR tidak memberlakukan tindakan yang sama ketika profesi lainnya melecehkan pasien? Mengapa DPR diam saat perawat dilecehkan oleh profesi kesehatan lain? Bukankah ini ketimpangan keadilan?
Diakui atau tidak, perawat adalah professional kesehatan terbesar di negeri ini yang sumbangsihnya harus dihargai. Jangan hanya karena satu orang perawat salah, lantas negeri ini gempar. Ada banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan oleh Pemerintah dalam menanggulangi masalah perawat. Di antaranya adalah ketimpangan kesejahteraan mereka, gaji minim, bahkan ada yang tidak dibayar tetapi perawat masih bersedia bekerja. Pelatihan yang tidak merata, STR yang belum tertata, pengangguran di mana-mana, peluang kerja di luar negeri yang belum dimaksimalkan. RS, klinik dan Puskesmas yang kadang terkesan nggaji perawat honor sekenanya, dan lain-lain.
Tanpa mengesampingkan peran etika profesi yang harus dijunjung tinggi, harusnya Pemerintah bijak dalam memperlakukan perawat. Kami tetap menjunjung tinggi supermasi hukum di negeri ini. Namun dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Viral video tersebut sudah cukup mencoreng nama baik bukan hanya individu, bahkan bangsa Indonesia.
Sekali lagi, lakukan investigasi dan terapkan prinsip praduga tak bersalah kepada anggota keluarga kami. Kalau bukan kepada Ibu Menteri Kesehatan, kepada siapa kami mengadu? Bagaimanapun, kami ini anak-anaknya Ibu Menkes. Andai saja Ibu seorang Perawat, pasti bisa merasakan sebagaimana yang kami rasakan, terhadap kolega kami yang berbuat salah.
Malang, 27 January 2018
SYAIFOEL HARDY (SUARA PERAWAT)
Komentar Anda