SISI SURAM KEPERAWATAN INDONESIA DI KANCA INTERNASIONAL
Saya sudah arungi lautan profesi ini selama 30 tahun lebih. Selama itu, saya berkenalan dengan nursing professional dari berbagai negara. Secara fisik, saya mengenal perawat-perawat yang berasal dari USA, Canada, Inggris, Belanda, Australia, New Zealand, Timur Tengah, Afrika, India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, Malaysia, Singapore dan Filipina. Bagi saya, itu cukup mewakili lima benua.
Adalah tidak berlebihan jika saya sharing dengan teman-teman perawat Indonesia muda, yang siap mendayung sampan, ingin mengarungi samudera profesi keperawatan ini, dengan segala ombak dan badainya.
Karena judulnya ‘Sisi Suram Keperawatan Indonesia’, maka jangan heran jika yang saya ungkap adalah ‘gelapnya’. Artinya, kelemahan yang harus kita sadari sebagai suatu kekurangan, yang diharap di masa depan bisa kita benahi bersama. Agar profesi ini lebih baik.
Namun begitu, tidak fair jika yang saya ungkap hanya sisi kekurangan profesi kita.
Keperawatan di Indonesia ini juga memiliki banyak kelebihan, yang tidak dimiliki oleh perawat-perawat lain, bahkan yang se-level Amerika. Misalnya, tanpa STR masih bisa berlenggang-kangkung bekerja di banyak tempat.
Perawat kita bisa buka praktik, padahal level pendidikan D3. Bahkan tidak sedikit yang tidak memegang STR. Perawat kita, tidak bermasalah meski melakukan tindakan invasive yang notabene bukan prosedur keperawatan.
Hal ini berarti, profesi keperawatan di Indonesia ini sangat beruntung.
Pemerintah masih sangat ‘toleran’. Sementara, di negara-negara lain, katakan Bangladesh atau Srilanka yang secara ekonomi lebih rendah di bawah kita, jangankan buka praktik, untuk melakukan tindakan invasive saja, tidak boleh. India, yang pendidikan keperawatannya copy & paste Inggris, tidak ada ceritanya perawat yang melakukan sirkumsisi. Di Filipina, mana ada perawat yang mengerjalan tindakan insisi, membeda abses atau melakukan bedah minor? Di Saudi, UAE, Kuwait, Qatar, tidak ada cerita perawat local (asli) yang dipanggil, home visit, mengerjakan woundcare di rumah-rumah penduduk kemudian dapat bayaran kayak perawat kita.
Inilah yang harus ‘disyukuri’ sekaligus kita jadikan bahan refleksi. Apakah praktik keperawatan yang demikian ini, sebenarnya boleh dan diizinkan dilakukan secara internasional, atau ini sebagai kebijakan local negara tertentu, sebagai perkecualian?
Inilah yang harus difikirkan, sehingga jangan sampai praktik yang (maaf) kebablasan ini bisa mencoreng nama baik profesi keperawatan Indonesia.
Suatu hari, beberapa perawat Belanda dan Australia datang ke Malang. Mereka terkejut, ketika melihat mahasiswa kita (D3 dan S1) yang melakukan tindakan suntik dan infus. Padahal,UU Keperawatan jelas-jelas mengatur, bahwa yang disebut dengan perawat professional adalah mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan baik tingkat Diploma 3 atau S1 yang lulus Ukom serta memiliki STR. Menurut UU Keperawatan, hanya perawat professional yang dizinkan melakukan tindakan seperti ini.
Namun di negara kita, mahasiswa pun boleh. Ironisnya, ketika sudah lulus, mereka tidak dizinkan nyentuh pasien. Bahkan diancam dipecat bila tanpa STR, namun masih bekerja.
Di satu sisi, betapa beruntungnya jadi mahasiswa keperawatan di negeri ini. Di sisi lain, betapa malang nasib lulusannya.
Sebuah fenomena yang tidak pernah saya dengar dari teman-teman perawat dari negara lain.
Satpam di kompleks perumahan kami lulusan SMK Jurusan Multi Media. Pekerjaannya sehari-hari saat ini melenceng. Dia jadi AC Technician dan Antena TV. Satpam, dikerjakan sebagai sambilan saja.
Ini adalah contoh, bahwa memang tidak ada larangan lulusan pendidikan profesi tertentu, termasuk keperawatan, untuk menekuni bidang lain sebagai mata pencahariannya. Ilmu itu tidak ada batasnya. Tetapi kewenangan dalam kerja, itu memang harus ada aturannya.
Dulu, pendidikan SPK, melakukan semua jenis pekerjaan. Mulai dari lap-lap meja, membersihkan toilet dan kamar mandir, mengepel, hingga menolong persalinan. Tapi untuk mencari kerja sangat gampang. Bahkan menjadi PNS pun mudah. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh jebolan SPK sangat amburadul dan tidak tertata, walaupun mudah cari kerja.
Saat ini dunia pendidikan keperawatan kita sudah beda jauh. Meski masih ada di beberapa tempat di mana mahasiswa keperawatan atau perawatnya melakukan pekerjaan bersih-bersih di tempat layanan kesehatan, namun mendapatkan pekerjaan tidak gampang. Dulu, lulusan SPK jadi honor, mendapatkan hanya sekitar 30% dari gaji PNS. Sekarang ini, jangankan 30%, yang gratisan saja susah memperolehnya.
Sepertinya perlu keseriusan pengambil kebijakan profesi ini untuk mengambil sikap. Termasuk diapakan kampus-kampus yang bisanya hanya meluluskan, namun tidak memiliki fasilitas layak, termasuk lahan praktik.
Khusus di Jawa, di mana kampus berhamburan. Inilah yang membuat ketimpangan antara teori dan praktik keperawatan. Kesenjangan antara UU Keperawatan dan implementasi di lapangan. Sebuah praktik harus kita akui, bisa mencoreng reputasi profesi keperawatan Indonesia.
Sedihnya, jika yang terlibat dalam pendirian dan pemilik kampus adalah orang-orang ‘dalam’, yakni perawat itu sendiri. Misalnya, kasus STR palsu di NTB beberapa waktu lalu. Ini tentu akan sulit.
Terlepas dari keberuntungan sebagai perawat Indonesia, Profesi keperawatan kita belum sampai pada level di mana profesionalnya bisa kaya dan mapan dengan profesi ini sebagaimana di USA. Makanya, mayoritas teman-teman perawat muda mencoba cari peluang sebagai kerjaan sampingan.
Kalau tidak, bagi yang ingin cepat kaya, sebaiknya meniru seperti apa yang dilakukan oleh rekan-rekan Filipina, India atau Srilanka. Yakni mencari peluang di luar negeri, sebagai jalan keluar lainnya.
Malang, 25 May 2017
SYAIFOEL HARDY
Sumber : Grup Facebook Suara Perawat
Adalah tidak berlebihan jika saya sharing dengan teman-teman perawat Indonesia muda, yang siap mendayung sampan, ingin mengarungi samudera profesi keperawatan ini, dengan segala ombak dan badainya.
Karena judulnya ‘Sisi Suram Keperawatan Indonesia’, maka jangan heran jika yang saya ungkap adalah ‘gelapnya’. Artinya, kelemahan yang harus kita sadari sebagai suatu kekurangan, yang diharap di masa depan bisa kita benahi bersama. Agar profesi ini lebih baik.
Namun begitu, tidak fair jika yang saya ungkap hanya sisi kekurangan profesi kita.
Keperawatan di Indonesia ini juga memiliki banyak kelebihan, yang tidak dimiliki oleh perawat-perawat lain, bahkan yang se-level Amerika. Misalnya, tanpa STR masih bisa berlenggang-kangkung bekerja di banyak tempat.
Perawat kita bisa buka praktik, padahal level pendidikan D3. Bahkan tidak sedikit yang tidak memegang STR. Perawat kita, tidak bermasalah meski melakukan tindakan invasive yang notabene bukan prosedur keperawatan.
Hal ini berarti, profesi keperawatan di Indonesia ini sangat beruntung.
Pemerintah masih sangat ‘toleran’. Sementara, di negara-negara lain, katakan Bangladesh atau Srilanka yang secara ekonomi lebih rendah di bawah kita, jangankan buka praktik, untuk melakukan tindakan invasive saja, tidak boleh. India, yang pendidikan keperawatannya copy & paste Inggris, tidak ada ceritanya perawat yang melakukan sirkumsisi. Di Filipina, mana ada perawat yang mengerjalan tindakan insisi, membeda abses atau melakukan bedah minor? Di Saudi, UAE, Kuwait, Qatar, tidak ada cerita perawat local (asli) yang dipanggil, home visit, mengerjakan woundcare di rumah-rumah penduduk kemudian dapat bayaran kayak perawat kita.
Inilah yang harus ‘disyukuri’ sekaligus kita jadikan bahan refleksi. Apakah praktik keperawatan yang demikian ini, sebenarnya boleh dan diizinkan dilakukan secara internasional, atau ini sebagai kebijakan local negara tertentu, sebagai perkecualian?
Inilah yang harus difikirkan, sehingga jangan sampai praktik yang (maaf) kebablasan ini bisa mencoreng nama baik profesi keperawatan Indonesia.
Suatu hari, beberapa perawat Belanda dan Australia datang ke Malang. Mereka terkejut, ketika melihat mahasiswa kita (D3 dan S1) yang melakukan tindakan suntik dan infus. Padahal,UU Keperawatan jelas-jelas mengatur, bahwa yang disebut dengan perawat professional adalah mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan baik tingkat Diploma 3 atau S1 yang lulus Ukom serta memiliki STR. Menurut UU Keperawatan, hanya perawat professional yang dizinkan melakukan tindakan seperti ini.
Namun di negara kita, mahasiswa pun boleh. Ironisnya, ketika sudah lulus, mereka tidak dizinkan nyentuh pasien. Bahkan diancam dipecat bila tanpa STR, namun masih bekerja.
Di satu sisi, betapa beruntungnya jadi mahasiswa keperawatan di negeri ini. Di sisi lain, betapa malang nasib lulusannya.
Sebuah fenomena yang tidak pernah saya dengar dari teman-teman perawat dari negara lain.
Satpam di kompleks perumahan kami lulusan SMK Jurusan Multi Media. Pekerjaannya sehari-hari saat ini melenceng. Dia jadi AC Technician dan Antena TV. Satpam, dikerjakan sebagai sambilan saja.
Ini adalah contoh, bahwa memang tidak ada larangan lulusan pendidikan profesi tertentu, termasuk keperawatan, untuk menekuni bidang lain sebagai mata pencahariannya. Ilmu itu tidak ada batasnya. Tetapi kewenangan dalam kerja, itu memang harus ada aturannya.
Dulu, pendidikan SPK, melakukan semua jenis pekerjaan. Mulai dari lap-lap meja, membersihkan toilet dan kamar mandir, mengepel, hingga menolong persalinan. Tapi untuk mencari kerja sangat gampang. Bahkan menjadi PNS pun mudah. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh jebolan SPK sangat amburadul dan tidak tertata, walaupun mudah cari kerja.
Saat ini dunia pendidikan keperawatan kita sudah beda jauh. Meski masih ada di beberapa tempat di mana mahasiswa keperawatan atau perawatnya melakukan pekerjaan bersih-bersih di tempat layanan kesehatan, namun mendapatkan pekerjaan tidak gampang. Dulu, lulusan SPK jadi honor, mendapatkan hanya sekitar 30% dari gaji PNS. Sekarang ini, jangankan 30%, yang gratisan saja susah memperolehnya.
Sepertinya perlu keseriusan pengambil kebijakan profesi ini untuk mengambil sikap. Termasuk diapakan kampus-kampus yang bisanya hanya meluluskan, namun tidak memiliki fasilitas layak, termasuk lahan praktik.
Khusus di Jawa, di mana kampus berhamburan. Inilah yang membuat ketimpangan antara teori dan praktik keperawatan. Kesenjangan antara UU Keperawatan dan implementasi di lapangan. Sebuah praktik harus kita akui, bisa mencoreng reputasi profesi keperawatan Indonesia.
Sedihnya, jika yang terlibat dalam pendirian dan pemilik kampus adalah orang-orang ‘dalam’, yakni perawat itu sendiri. Misalnya, kasus STR palsu di NTB beberapa waktu lalu. Ini tentu akan sulit.
Terlepas dari keberuntungan sebagai perawat Indonesia, Profesi keperawatan kita belum sampai pada level di mana profesionalnya bisa kaya dan mapan dengan profesi ini sebagaimana di USA. Makanya, mayoritas teman-teman perawat muda mencoba cari peluang sebagai kerjaan sampingan.
Kalau tidak, bagi yang ingin cepat kaya, sebaiknya meniru seperti apa yang dilakukan oleh rekan-rekan Filipina, India atau Srilanka. Yakni mencari peluang di luar negeri, sebagai jalan keluar lainnya.
Malang, 25 May 2017
SYAIFOEL HARDY
Sumber : Grup Facebook Suara Perawat
Komentar Anda